Tuesday, March 9, 2010

Diskusi ke 8. Sacred architecture. Memahami arsitektur candi Nusantara.

  Undangan Forum Budaya, diskusi bulanan ke 8.

Thema : SACRED ARCHITECTURE.

Nara sumber :

Andrianto Wibisono : Cahaya sebagai identitas dalam ruang bangunan religius. Studi kasus gereja Katolik di Kevikepan, Yogyakarta.

Rahadia PH. : Memahami arsitektur candi Nusantara.

Waktu : Jumat 19 Maret 2009. Jam 16.00- 19.00.

Terbuka untuk umum.

Tempat : Ruang FSRD, UK Maranatha ,

Jl. Suria Sumantri 65 , Bandung.

Pengunjung masuk dari gerbang no 1.

Semua peminat ditunggu kehadirannya.

Biaya gratis .

Salam erat,

CCDACS

Universitas Kristen Maranatha.

Bandung, Indonesia.

Arsip presentasi pertemuan yang lalu dapat dilihat pada blog:

http://chinese-diaspora-art-culture.blogspot.com/

http://chinesediasporastudy.wordpress.com/

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>oooooooooooooooooo<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<

Invitation from the Culture Forum, 8th monthly discussion.

Subject : SACRED ARCHITECTURE.

Speaker :

Andrianto Wibisono : Light as space identity in religious building. Case study at kevikepan Catholic church, Yogyakarta.

Rahadia PH. : Significancy of candi architecture in Nusantara (Indonesia).

Time : Friday 19th March 2009, At 4.00 - 7.00 PM.

Premise : Fine Art and Design dept. Maranatha Christian University,

Jl. Suryasumantri 65. Bandung.

Entrance through the gate # 1.

Free of charge.

All parties are welcome.

Regards,

CCDACS

Maranatha Christian University,

Bandung. Indonesia.

Archives of past presentations are available on the blog :

http://chinese-diaspora-art-culture.blogspot.com/

http://chinesediasporastudy.wordpress.com/


Makalah Bpk Rahadia PH

Memahami Desain Arsitektur Candi Nusantara

Rahadhian PH

Jurusan Arsitektur Unika Parahyangan

candinusantara@gmail.com


Abstrak

Candi merupakan peninggalan arsitektur pada masa Hindu-Budha yang masih dapat disaksikan sampai saat ini. Indonesia memiliki beratus bangunan candi yang tersebar dengan variasi tipe bentuknya. Candi menunjukkan adanya tradisi arsitektur yang kuat di Nusantara dan merupakan sumber pengetahuan yang dapat dijadikan landasan bagi pemahaman kreativitas desain yang menggambarkan tradisi arsitektur tersebut. Melalui pengkajian arsitektonik diharapkan dapat dikenali unsur-unsur desainnya.

1. Pendahuluan

Perkembangan arsitektur di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masa Hindu-Budha yang berlangsung 11 abad lamanya. Desain arsitektur candi di Indonesia menunjukkan adanya kekhasan tertentu. Hal ini menunjukkan adanya local genius yang berperan aktif di dalamnya. Soekmono (1986) menghubungkannya dengan usaha ‘meramu’ berbagai seni bangunan suci di India yang berasal dari berbagai pusat kesenian dan berbagai jaman, menjadi suatu kreasi baru yang diperkaya dengan unsur-unsur lokal. Nenek moyang bangsa Indonesia sebenarnya telah mempunyai daya kreativitas yang memadai guna menciptakan seni-seni baru, seperti dalam desain arsitektur candi-candi tersebut dimana menampilkan adanya perbedaan dengan negeri asalnya. Arsitektur candi di Nusantara merepresentasikan adanya fenomena silang budaya yakni arsitektur ‘India’(representasi asing) yang di-Jawa-kan atau di-Nusantara-kan (representasi lokal).

2. Arsitektur Candi Nusantara

Meminjam pengertian De Architectura (menurut Vitruvius), menyatakan bahwa desain arsitektur merupakan kesatuan antara aspek keindahan/estetika (venusitas), kekuatan (firmitas), dan kegunaan/fungsi (utilitas). Dalam definisi modern, arsitektur harus mencakup pertimbangan fungsi, estetika, dan psikologis. Arsitektur lahir melalui dinamika kebutuhan dan material-teknologi konstruksi yang menyertainya. Arsitektur tidak hanya mementingkan aspek keindahan (kenyamanan visual dan rasa) melainkan juga aspek teknologi-konstruksi (dapat dibangun-buildable, kuat, kokoh, stabil) dan aspek fungsional (berguna bagi kehidupan manusia).

Di dalam pengolahan estetika desain arsitektural konsep unity merupakan aspek yang penting. Konsep unity dapat dijabarkan antara lain mencakup: tekstur, warna-colour, tone, porporsi-skala, solid-void (padatan-ruang kosong), form and shape, dsb. Dalam konsep unity tersebut terkandung unsur dominansi, harmoni-keselarasan, keseimbangan (balance) dan focus of interest /vitality. Wujud unity tersebut dapat dibaca melalui tampilan ekspresinya. Oleh karena itu dalam perwujudannya karya Arsitektur mengandung adanya unsur representasi visualisasi. Ekspresi muncul sebagai sintaksis antara elemen-elemen desain di dalamnya. Gaya atau style (dapur-Jawa) dapat difahami sebagai wujud dari ekspresi tersebut.

Namun dalam kompleksitas yang lebih jauh gaya arsitektur tidak difahami hanya mencakup kulit/sosok luar bangunan saja, melainkan juga menyangkut karakter keruangannya. Desain arsitektur pada hakekatnya merupakan komposisi (tautan-korelasi) antara form dan spatial (tatanan ruang dan massa) serta aspek fungsi yang melekat di dalamnya. Secara arsitektonik Ching (1993) menegaskan adanya prinsip-prinsip penyusunan komposisi yakni kesimetrisan, axisitas, hirarki, irama, perulangan, transformasi, dan datum. Selain hal-hal tersebut Ching juga menggolongkan berdasarkan sifat penyusunan yakni linier, radial, cluster, memusat, dan grid. Prinsip dan sifat penyusunan komposisi kemudian dikembangkan berdasarkan penekanan-penekanan lebih lanjut misalnya adanya divergensi, konvergensi, dsb. Komposisi ini menjadi penting karena berkaitan erat dengan unsur fungsi-kegiatan-spiritual di dalamnya. Pendekatan arsitektonik seperti ini juga dikenali pada desain suatu candi.

Menurut Soekmono (1973) Pembangun suatu candi dipimpin oleh Yajamana (pimpinan). Yajamana membawahi dua orang arsitek yaitu Sthapaka (arsitek pendeta) dan Sthapati (arsitek perencana). Sthapaka bertugas membuat persiapan yang berhubungan dengan upacara-upacara ritual dan hal-hal ‘gaib’ di dalam proses pembangunan atau perencanaan.suatu candi, sedangkan Sthapati betanggung jawab atas proses fisik perencanaan dan pembangunan. Sthapati membawahi Sutragrahin (pelaksana dan pemimpin umum teknis), Vardhakin (perancang seni hias) dan Taksaka (ahli pahat). Hal ini menunjukkan bahwa desain suatu candi melibatkan adanya unsur fisik dan metafisik (seperti feng-shui yang sedang marak saat kini).

Candi di Nusantara dikenal mempunyai gaya bangunan yang secara umum dapat dibagi menjadi gaya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun kedua gaya tersebut menunjukan perbedaan karakteristik yang signifikan, namun penggolongan bentuk candi menurut propinsi dirasa kurang tepat, karena pembagian propinsi yang dikenal adalah produk administrasi pemerintahan masa kini yang belum tentu relevan dengan masa lampau, apalagi apabila harus disertakan bangunan candi yang ditemukan di luar pulau Jawa. Penggolongan candi gaya Jawa Tengah dan Jawa Timur sebenarnya hanya untuk mempermudah mengenali secara general karakterisitiknya. Pembagian berdasarkan kombinasi waktu/era, kerajaan (Sriwijaya, Mataram, Majapahit, dsb), dan tipo-morfologis desain arsitektural secara utuh dianggap akan lebih relevan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber referensi desain-teknologi arsitektur candi adalah India. Kaidah pembangunan bangunan sakral kuno di India diatur di dalam Vastusastra atau Silpasastra, yang berjumlah banyak, antara lain Manasara, Mayamata, Silpaprakasa, Visnudharmottaram, aturan di dalam kitab Purana, atau kitab keagamaan. Namun apakah digunakan secara utuh pada candi Prambanan dan Sewu masih harus diteliti lebih lanjut, mengingat local genius juga berperanan di dalamnya. Bosch mengkaitkan percandian di Indonesia dengan kitab Manasara yang berasal dari India Selatan, karena dianggap mempunyai keidentikan. Kitab ini berisi tentang patokan membuat kuil beserta komponennya dan bangunan profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kota/desa, dsb. (Acharya 1933, I,IV)

Kitab-kitab tersebut mengungkapkan bagian-bagian yang mungkin berhubungan dengan keadaan percandian di Indonesia, seperti persyaratan bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat thirtha/ air baik di sungai, terutama di dekat pertemuan dua buah sungai, danau, laut, bahkan jika diperlukan harus dibuat kolam buatan di halaman kuil, atau diletakkan sebuah jambangan berisi air dekat gerbang masuk. Tempat yang ideal untuk mendirikan kuil menurut Tantra Samuccaya adalah di daerah ksetra meliputi puncak bukit, di lereng gunung, di hutan, di lembah (Kramrisch 1946,1:3-7). Dalam hubungannya dengan air, maka hal ini sangat sesuai dengan inti ritual Hinduisme yaitu ‘mandi’.

Manasara mengungkapkan beberapa langkah yang harus ditempuh di dalam proses pembangunan kuil. Dimulai dengan pemilihan lahan sampai perencanaan ‘cetak biru’-model miniatur. Penelitian tanah dilakukan terlebih dahulu, baik dari segi wujud fisiknya (jenis, warna, bau, dsb) ataupun dari segi magisnya (badan halus penghuninya, potensi gaibnya dsb). Di dalam pemilihan lahan ini dilakukan pengujian kelayakan tanah, yang menyangkut kohesi tanah. Tanah yang baik adalah tidak terlalu berpasir (tidak mudah menyerap air) dan tidak terlalu keras.

Langkah berikutnya pengolahan lahan dengan membajak, mengairi dan menaburi biji-bijian dari berbagai jenis tanaman, guna menguji kesuburannya. Filosofi yang mendasarinya adalah bahwa tanah merupakan penampung benih dari segala yang tumbuh termasuk analoginya adalah benih kuil (garbha). Dengan demikian diharapkan bangunan suci yang didirikan nantinya dapat menyerap dan mengembangkan sari-sari yang terpendam dalam tanah yang telah disucikan itu. Upacara pembenihan ini disebut Garbhadana. Kemudian Sthapaka atas nama Yajamana meletakan Garbhapatra pada tempat yang sudah ditetapkan di bagian Brahmasthana (di pusat site). Garbhapatra merupakan bejana yang bagian dalamnya dibagi-bagi menjadi 9 sampai 25 kotak, masing-masing sebagai representasi para dewa. Kotak-kotak ini diisi dengan bermacam benda alam seperti batu akik, logam, tanaman, biji-bijian dan tanah.

Langkah berikutnya adalah dengan membuat diagram mandala di atas tanahnya, sebagai perencanaan bentuk denah dan perletakan. Setelah itu barulah dilakukan pembangunan fisik suatu candi dari pondasi sampai bangunan di atasnya. Terdapat beberapa bdugaan yang menunjukkan proses pembangunannya yaitu dengan penimbunan kemudian dilanjutkan dengan pengukiran dari atas ke bawah. Cara lainnya adalah dengan menggunakan rangka-rangka perancah (scaffolding) sebagai lantai kerja para pembangunnya.

Landasan yang digunakan dalam desain suatu candi adalah mandala. Mandala berkaitan dengan sifat suatu candi. Sebagai contoh Prambanan dan Sewu yang disaksikan sekarang diperkirakan dibangun dalam masa yang tidak jauh berbeda (masa klasik tengah-abad ke 9 atau masa Mataram Kuno). Namun demikian khusus Candi Sewu pada masa kuno diperkirakan telah terjadi usaha pemugaran dari sosok yang lama ke baru. Fenomena ini diperkirakan didorong oleh terjadinya pergeresan aliran-aliran kepercayaan yang dianut oleh raja-rajanya, seperti munculnya tata mandala Dharmadatuwagiswaramandala (masuknya Mahayana ke pulau Jawa abad ke-9?). Pemugaran ini juga terjadi pada candi-candi lainnya seperti Kalasan.



Gb 1. Cetak Biru Kuil di India di atas pelepah kayu , Teknik Pembangunan, dan Mandala

Oleh karena itu dalam membaca arsitektur candi semestinya tidak hanya bergerak pada tataran ekspresi gaya fasadnya saja melainkan juga melibatkan tipo-morfologi form dan spasialnya, baik antara ruang dalam maupun ruang luarnya. Dewa dianggap bersemayam di atap (dunia surgawi), dimana pada saat upacara maka sang dewa digambarkan turun ke bumi (masuk ke ruang inti) merasuki patung atau lingga dan kemudian menyatu-membuahi bumi (yoni). Untuk mensucikannya maka patung atau lingga tersebut dilakukan upacara pencucian, air hasil pencucianya dianggap merupakan air suci sebagai simbolisasi sumber kehidupan/kesuburan. Ritus ini kemudian diperkuat dengan teknik ritual berupa upacara mengitari candi tersebut. yakni pradaksina (searah jarum jam) dan prasawya (berlawanan jarum jam). Menurut Sentika (1992) kedua perjalanan ritual tersebut tidak lain adalah lambang perjalanan bagi seorang Yogin, khususnya yang melakukan Yoga Kundalini, yang mendasarkan pada anggapan bahwa manusia adalah mikrokosmos, sehingga Siwa dan perangkatnya berada di dalamnya. Pandangan ini juga identik dengan ajaran Sufistik Jawaisme ‘Manunggaling Kawula Gusti’ kemudian. Ritual pradaksina melambangkan prawarti atau perjalanan/pengaliran keluar untuk menuju titik pusat dan bersatu dengan dewanya, dan prasawya adalah lambang Niwrti yaitu pengaliran kembali ke dalam tubuh. Candi merupakan lambang perjalanan dari seorang yogin

Dalam membahas arsitektur candi terdapat hal-hal yang perlu digarisbawahi, khususnya yang berkaitan dengan kreativitas pengolahan form dan spatial-nya. Secara arsitektonik beberapa atribut kuat dalam desainnya dapat dilihat pada denah, perletakan dan sosok-fasad, antara lain berupa: komposisi geometrik-cartesian, unsur garis pada fasad-efek gelap terang, sosok volumetrik, efek prespektifis pada atap candi, kesimetrisan, besaran-skala proporsi, aspek pembagian tiga, perulangan, dsb.



1. Komposisi Geometrik.

Bentuk geometris merupakan bentuk dasar (basic type) yang signifikan dan dominan digunakan pengolahan desain suatu candi termasuk Prambanan dan Sewu. Komposisi geometrik merupakan bentuk yang ideal untuk menggambarkan alam surgawi karena dianggap sebagai bentuk yang jelas (untuk membedakan dengan bentuk-bentuk alam-duniawi yang dinamis/tidak teratur seperti daun, batu, dsb). Secara umum candi dapat digambarkan sebagai bentuk geometris baik dalam pengolahan sosok, ekspresi tampak-fasad bangunan, denah dan perletakannya. Pola geometrik kartesian (siku-siku) digunakan dalam wujud cruciform pada denah, pengolahan sosok dan fasad. Secara umum komposisi geometrik cartesian merupakan karakter yang khas di dalam desain percandian.

Meskipun beberapa bagian menggunakan ornamentasi ragam hias tumbuhan, binatang, manusia namun kesemuanya itu dibingkai dan atau diolah atas dasar bentuk-bentuk geometrik. Secara filosofis bentuk cruciform dapat dikaitkan pada tata ruang yang mengacu pada mandala, seperti aliran Mahayana (Vajradatu Mandala, dsb). Hal yang menarik disini adalah bahwa meskipun sifat candinya berbeda antara Hindu dan Budha namun tetap menggunakan bentuk denah yang sama yakni cruciform. Fenomena ini menunjukan bahwa pemilihan bentuk cruciform sepertinya telah menjadi rujukan masa itu (spirit of age atau trend) dan mungkin tidak selalu dikaitkan pada sifat keagamaan (Budha). Namun demikian secara arsitektonik pengolahan kreativitas pengatapan dapat berbeda meskipun menggunakan bentuk denah yang sama, contohnya Prambanan dan Sewu. Tiap ruang penampil Candi Sewu diberikan atap sendiri-sendiri (untuk menguatkan konsep mandala vajra-seperti pagoda intan dengan lima puncaknya), sementara ruang-ruang di dalam Candi Prambanan tidak diatapi secara terpisah melainkan menyatu menjadi satu.

Secara utuh massa bangunan menggambarkan siluet kesan bentuk geometrik segitiga. (secara filosofis bentuk segitiga mengacu pada konsep bentuk Gunung - candi merupakan manifestasi Mahameru). Meskipun ada elemen yang menonjol, semuanya dikomposisikan sedemikian rupa sehingga secara total tetap menggambarkan satu kesatuan yang tercermin dalam bentuk segitiga tersebut. Siluet bentuk segitiga tersebut menunjukkan suatu bentuk yang stabil, sesuai dengan konsep surgawi. Dalam satuan yang lebih kecil bentuk segitiga juga ditunjukkan oleh sosok atap candi berikut elemen penghiasnya. Atap candi tidak lain adalah gambaran tempat kedudukan dewa-dewa di Mahameru, sehingga tidak heran jika sosok segitiga banyak ditemukan di sana. Selain dalam konteks bangunan skyline tata massa bangunan juga menunjukkan adanya susunan yang menampilan kesan segitiga.


Gb 02. Geometrik kartesian-cruciform, siluet segitiga - candi Prambanan (atas) candi Sewu ( bawah)

Bentuk geometrik lain yang digunakan adalah lingkaran. Lingkaran ini banyak digunakan dalam bentuk atap ataupun elemen-elemen hiasannya. Dalam Budhisme lingkaran dipandang mempunyai kedudukan istimewa dibandingkan dengan bentuk persegi. Dalam pandangan Budha, hidup merupakan proses dari ‘roda dharma’ yang terus berputar. Jadi lingkaran melambangkan sesuatu yang tidak ada awal dan akhir, suatu proses yang berjalan terus menerus, bersifat trandesendental dan abstrak. Sedangkan persegi melambangkan sesuatu yang nyata, statis dan konkret. Berbeda dengan Hinduisme, dalam Satapatha Brahmana menyatakan bahwa persegi melambangkan surgawi dan lingkaran melambangkan duniawi. Lingkaran bersifat dinamis, mudah berubah, bergerak mengalir, hal ini melambangkan dunia yang fana. Sedangkan persegi bersifat statis, stabil, tidak mudah bergerak dan berubah, hal ini melambangkan surga yang kekal.

Dengan demikian meskipun terdapat perbedaan dengan persepsi Hinduisme namun pada intinya kedua bentuk itu melambangkan permasalahan esensi dan substansi. Penggabungan dua unsur ini melambangkan kesatuan dari surga dan dunia, ruang dan waktu, esensialitas dan subtansialitas. Jika dikaitkan dengan konsep mandala, maka mandala dalam bahasa sanskerta berarti circle atau merupakan ruang yang digunakan sebagai pusat dalam pelaksanaan ritual. Meskipun menyatakan citra lingkaran/perputaran tetapi bentuk dasar mandala adalah persegi square. Hal ini menyebabkan terjadinya dikotomi pemaknaan lingkaran dan persegi

Gb 03. Tata ruang dan massa candi Prambanan dan Sewu –komposisi geometrik

2. Komposisi Solid-Void-Volumetrik yang membentuk Cluster

Komposisi tata ruang dan massa suatu candi menunjukkan adanya komposisi solid berupa massa-massa yang berbentuk volumetrik, batas pagar dan void berupa ruang-ruang terbuka. Komposisi solid-void menunjukkan adanya kesatuan yang utuh. Memahami ruang candi tidak hanya pada massa solid (ruang dalam) saja melainkan juga berkaitan dengan void (ruang luarnya). Perlu dikaji pemahaman antara tentang ruang eksterior dan interiornya. Dalam arsitektur klasik barat yang seusia (misalkan masa Romanesque) pengolahan interior terlihat lebih diutamakan, berbeda dengan candi Jawa yang lebih mengutamakan pengolahan eksteriornya. Hal ini menunjukkan bahwa dominasi aktivitas ritualnya dilakukan pada ruang luarnya, berbeda dengan arsitektur klasik barat yang lebih memanfaatkan interiornya. Penggunaan ruang luar yang berkaitan dengan aktivitas ini dimungkikan karena didukung oleh kondisi iklim. Komposisi yang sinergis antara ruang dalam dan luar membentuk susunan cluster geometrik merupakan karakter tata ruang dan massa yang ditunjukkan dari suatu candi Menurut Soekmono (1973) konsep perletakkan candi dapat dihubungkan dengan pola pemerintahan yang sedang berlangsung.

Desain candi disusun dengan pendekatan volumetrik (masif) tidak menggunakan tiang-tiang seperti di India. Pengolahan sosok masif-volumetrik candi menggunakan pendekatan substraktif dan aditif. Kesan volumetrik tersebut mendukung ekspresi kekokohan dan kestabilan sebagai representasi konsep surgawi. Ekspresi volumetrik ini sangat berkaitan dengan penggunaan teknologi dan material yang digunakan yakni batu. Batu merupakan material yang masif, berat, dan berkesan volum (meskipun di India, material batu dapat digunakan sebagai tiang-tiang).

.

3. Elemen Garis dan Efek Gelap-Terang

Garis memiliki peranan yang signifikan dalam membentuk estetika fasad pada setiap bagian dari candi. Pengolahan garis dapat berupa garis-garis horisontal seperti pelipit pada bagian peralihan setiap bagian dan vertikal berupa bingkai pengapit (kolom semu) pada badan dan kaki, maupun dudukan kepala. Garis tersebut diolah timbul dari permukaan berupa hiasan moulding. Pengolahan garis ini diwujudkan melalui penggunaan hiasan moulding yang menimbulkan efek gelap-terang/ figure-ground. dan ‘permainan’ kedalaman permukaan bila terkena sinar matahari. Efek ini dapat menimbulkan ekspresi keruangan pada permukaan fasadnya.


Gb 04. Efek garis, gelap terang dan perspektifis


4. Efek Perspektifis

Bagian kepala pada suatu candi memiliki ornamen-ornamen yang disusun dengan perbandingan tertentu sehingga menimbulkan kesan perspektif. Pada bagian kepala elemen-lemennya disusun semakin ke atas semakin mengecil. Hal ini merepresentasikan kesan menjauh, lalu menghilang sebagai gambaran dari dunia dewa yang tinggi dan jauh. Sebaliknya dari atas ke bawah komposisi demikian pada candi Hindu bisa dihubungkan dengan konsep menyebarnya atman dari Brahman ke dunia. Kesan perspektif ini dapat ditampilkan dalam wujud sosok tiga dimensi elemen maupun ornamentasi.



5 . Kesimetrisan

Keseimbangan berhubungan dengan kualitas gerakan mata ketika mata melihat sebuah objek secara keseluruhan. Pada candi tersebut hal ini nampak jelas dan didukung oleh adanya beberapa elemen yang menonjol pada bagian kanan, kiri, dan tengah untuk menunjukkan kesimetrisan. Pengolahan ini merupakan penerapan dari keseimbangan yaitu adanya kesimetrisan antara bagian kiri dan kanannya. Hal ini memberikan kesan stabil pada bangunan.Keseimbangan yang simetris juga nampak pada semua komposisi elemen estetikanya, seperti ornamentasi, elemen atap, dan sebagainya. Dapat dikatakan secara vertikal bahwa bagian kiri merupakan cerminan dari bagian kanannya, demikian pula sebaliknya. Komposisi keseimbangan dapat dilihat pada tiga titik (pada kepala dengan elemen simbar/antefix, pada badan elemen pintu dan relung arca, dan pada kaki pada elemen tangga dan ornamen bingkai) di semua bagiannya.



6. Pusat Perhatian (Point of Interest)

Adanya elemen yang mendominasi pada setiap bagian memberikan kesan adanya point of interest. Pada bagian kepala ditunjukan oleh bagian ornamen yang lebih besar pada bagian tengah, kanan dan kiri. Pada bagian badan dapat berupa elemen pintu masuk/penampil yang memiliki detail yang lebih menonjol dan pada bagian kaki diterapkan dengan adanya elemen tangga. Point of interest tersebut akan memperkuat kesimetrisan yang dapat mendukung keseimbangan (bagian kanan yang merupakan penceminan bagian kirinya - dan juga sebaliknya).



7. Proporsi dan Skala

Secara keseluruhan, proporsi digunakan untuk mendukung kaitan antara elemen yang satu dengan yang lain. Proporsi menunjukkan perbandingan panjang, lebar, dan tinggi, dan semuanya pada umumnya dapat dinyatakan dalam perbandingan numerik. Proporsi diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan kesan vertikal yang kuat (nampak dari bentuk elemen penghias yang umumnya ramping), namun diimbangi oleh elemen yang melebar ke arah samping untuk menciptakan kesan kokoh. Proporsi perbandingan antara kaki, badan dan kepala diolah sehingga menimbulkan kesan stabil. Proporsi merupakan salah satu unsur yang turut menentukan aspek kesatuan pada bangunan candi tersebut, karena proporsi berkaitan erat dengan hubungan geometrik, rasio/ perbandingan antar bagian dalam suatu komposisi.

Hal ini dapat dilihat pada komposisi kaki yang terlihat didominasi oleh lebarnya, bagian badan dengan skala yang lebih kecil dan pada bagian kepala mengecil menuju satu titik untuk memberikan pengakhiran. Pengolahan badan candi Prambanan terlihat diolah membuat kesan lebih dari satu lantai. Hal ini dapat dilihat dari adanya garis pembagi horisontal. Dengan demikian secara visual skalatis akan terlihat lebih tinggi.



8. Irama (rythem) dan Perulangan (repetition)

Irama dan perulangan merupakan sarana untuk menegaskan adanya unsur kesatuan (untiy,datum). Unsur kesatuan, misalnya pada candi Prambanan diwujudkan dalam perulangan berupa bentuk mahkota ataupun elemen dalam sosok candi itu sendiri baik pada kepala, badan, kaki tersebut. Perulangan juga ditunjukkan oleh elemen simbar, bingkai/ pengapit/pelipit pada bagian peralihan bidang vertikal maupun horisontal berupa : elemen garis (kolom semu–vertikal, pelipit-horisontal) yang selalu membingkai bidang jendela semu dan relung-relung pada badan. Fenomena demikian juga ditemukan pada kaki, serta bagian atap yang ditunjukkan oleh pengolahan dudukan elemen penghias kepala. Irama dan ritme serta perulangan diciptakan pada pemberian elemen pelipit pada setiap bagian peralihan bidang. Keteraturan pada pemberian elemen ini menyebabkan bangunan menjadi tidak monoton . Perulangan tersebut menunjukkan adanya integrasi yang membentuk sosok menyatu dan teratur. Keselarasan antara elemen penghias dengan sosoknya (menggunakan bentuk dasar yang sama, ataupun dalam komposisi perletakan ornamen penghias pada titik – titik tertentu) menunjukkan usaha untuk menciptakan kesatuan ekspresi bangunannya. Perulangan bentuk yang sama tersebut akan menimbulkan adanya dominasi yang dapat memperkuat kesatuan.



9. Pembagian Tiga

Pengolahan elemen estetika pada kedua candi ini didominasi menggunakan sistem komposisi ‘pembagian tiga’ baik pada sosoknya (kepala, badan, dan kaki), baik secara horisontal maupun vertikal, maupun ornamentasinya. Pengolahan pembagian tiga/tripartite ditunjukkan dengan adanya kaki-tubuh-kepala atau alas-tubuh-atap atau bawah-tengah-atas. Pada masing-masing bagian tersebut juga ditemukan prinsip tripatite dan dapat berbentuk frame, berupa elemen atas, elemen tengah, atau elemen bawah atau jika diputar maka akan ditemukan elemen kiri, tengah, kanan.



10. Tekstur

Candi Prambanan menunjukkan adanya pengolahan permukaan/tekstur yang lebih dinamis dibandingkan dengan Candi Sewu, terlihat dari kekayaan ornamen yang digunakan. Candi Sewu terlihat lebih minimalis dibandingkan dengan Prambanan, khususnya pada candi induknya. Konsep ini sepertinya identik dengan tatanan Arupadatu pada puncak candi Borobudur, dengan olahan polos dan minim ornamentasi. Ornamentasi ragam hias atau relief cerita merupakan bagian dari kreativitas desain candi, bukan sekadar hiasan atau tempelan. Landasan yang digunakan adalah nilai religiusitas. Komposisi tekstur ini diolah sesuai dengan konsep yang akan ditampilkan. Sebagai perbandingan dalam doktrin arsitektur modern tahun 20-an di barat ornamen dianggap sebagai suatu yang mengganggu (ornament and crime) sehingga kemudian muncul gaya minimalis. Doktrin ini sangat berlawanan dengan kaidah candi-candi yang menempatkan ornamen justru sebagai bagian penting dalam desain.



Gb 05. Perspektifis, Efek gelap terang, Volumetrik, Simetris, Pembagian tiga, Irama-perulangan, Point of interest, Tekstur, Proporsi-skala, Mimesis.



11. Mimesis

Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa candi melambangkan makrokosmos atau alam semesta yang dibagi menjadi tiga bagian : alam bawah tempat manusia yang masih dipengaruhi nafsu, alam antara tempat manusia telah meninggalkan keduniawian dan dalam keadaan suci menemui Tuhannya, dan alam atas tempat dewa-dewa. Candi sebagai tempat sementara bagi dewa di Bumi merupakan bangunan tiruan tempat dewa seperti yang berada di Gunung Mahameru. Oleh karena itu wujud mimesis (tiruan) dalam desain candi ditunjukkan dalam wujud sosok maupun motif ornamentasi ragam hias dan relief yang berhubungan dengan alam khayangan seperti bunga-bunga teratai, binatang-binatang, dewa-dewa, bidadari dsb. Sumber inspirasi desain percandian berupa metafora (meminjam – borrowing) bentuk-bentuk yang berasal dari alam, manusia, konsep religi, dsb.

Candi merupakan contoh wujud arsitektur yang mengandung nilai-nilai yang ditujukan untuk membangun kesadaran diri dalam kaitannya dengan penciptaan manusia atau Sangkan Paraning Dumadi. Arsitektur candi menunjukkan adanya penjunjungan tinggi terhadap makna genesis (seks) yang difahami dalam konteks kesakralan (sebagai suatu bentuk penghargaan terhadap hakekat kemanusiaan), bukan didorong oleh nafsu duniawi. Adanya unsur makna genesis di dalamnya dapat ditunjukkan melalui sosoknya, elemen-elemennya seperti lingga-yoni (alat genital manusia) sampai pada tingkat ornamentasi dan relief-reliefnya.



12. Hirarki

Prinsip hirarkis ditunjukkan melalui aksis, skala besaran- ketinggian. Konsep hirarkis dapat ditunjukkan berupa garis sumbu simetri yang kuat pada arah tertentu dengan pengaturan besaran-ketinggian baik massa ataupun elemen bangunan. Secara ritual hal ini menggambarkan adanya suatu prosesi menuju ke sesuatu yang ditinggikan. Pendayagunaan prinsip hirarki secara langsung dapat diwujudkan melalui pembagian tata ruang denah yang berlapis bertingkat yang dilengkapi dengan tangga. Secara aktual hal ini menunjukkan adanya pentahapan dalam menuju sesuatu yang utama.



13. Aksis-Kesumbuan

Garis-garis aksis secara visual merupakan elemen yang menegaskan orientasi bangunan. Pada hakekatnya candi dibangun dengan pendekatan sumbu-sumbu yang mengacu pada mata-angin (astadipalaka, dsb). Pada Candi Prambanan dan Sewu, kedudukan axis dibuat seimbang ditandai dengan komposisi candi perwara den empat buah pintu yang disusun secara hirarkis. Konsep aksis pada candi Sewu ditunjukkan pula dalam kaitannya dengan candi lainnya yakni Lumbung dan Bubrah, seperti aksis Borobudur-Mendut-Pawon. Prinsip axis dalam desain candi merupakan sesuatu yang selalu dihadirkan, baik berupa sumbu mayor dan sumbu minor (jika arah masuk candi satu arah) atau berupa sumbu yang sama kuatnya (jika arah masuk empat arah)


Gb 06. Hirarki, Aksis, dan konsep dualitas (memusat tak memusat-Prambanan, memusat dan linier-Sewu).


14. Konsep Dualitas – in between



Sutasoma 139,4d-5d

Hyan Buddha tan pabi lawan Siwarajadewa rwanekadhatu winuwus wara Budhawiswa bhineki rakwa rinapankenaparwanosen manka n jiwatwa kalawan siwatatwa tungal bhineka tungal ika tan hana dharma mangruwa



“Dewa Buddha tidak berbeda dengan Siwa Mahadewa diantara dewa-dewa. Keduanya dikatakan mengandung banyak unsur; Buddha yang mulia adalah kesemestaan. Bagaimanakah mereka yang boleh dikatakan tidak terpisahkan dapat begitu saja dipisahkan menjadi dua? Jiwa Jina dan jiwa Siwa adalah satu dalam hukum tidak terdapat dualisme”



Secara arsitektonis pola susunan tata letak candi menggabungkan antara unsur gridiron yang konsentris dan linieritas. Dualitas ini nampak pada wujud memusat tetapi tidak memusat/bergeser, linier tetapi radial, unsur horisontal dan vertikal. Hal ini dapat dilihat dari perletakan candi induk Prambanan yang bergeser dari tapak inti utamanya, berbeda dengan perletakan candi Sewu yang memusat. Meskipun inti candinya tidak di pusat, perletakan barisan candi-candi perwara Prambanan ikut memperkuat unsur pemusatan tersebut yakni berupa tatanan yang membentuk formasi bujursangkar. Secara arsitektonis merupakan bentuk ini bersifat memusat. Di sini muncul dualitas, memusat tetapi tidak memusat. Sementara konsep dualitas pada candi Sewu ditunjukkan dengan menggabungan konsep memusat dan linier, yakni pola memusat pada kompleks candi utamanya dan linier jika dihubungkan dengan Lumbung-Bubrah.

Konsep dualitas ini juga nampak kemudian pada konsep-konsep yang merujuk pada sinkritisme-tantrayana seperti pemujaan Siwa dan Budha, maskulin dan feminim (dewa dan caktinya), ataupun adaptasi desain lama dan baru, berfikir ke depan tetapi tetap mempertimbangkan aspek yang ada di belakang, dsb. Secara metafisik Tantra dapat dikarakterisasikan dalam bentuk nilai magis dari pencarian nirwana yang dilakukan melalui teknik meditasi. Teknik meditasi ritual yang dilakukan menyatukan pikiran, kata – kata, dan gerakan tubuh dari seseorang sebagai perwujudan dari penyatuan/percampuran antara mikrokosmos (manusia) dalam makrokosmos (semesta/dewa). Gerakan tubuh dapat dikaitkan dengan kelenturan tubuh (meditasi yoga) dalam membangun kesadaran retrospeksi terhadap hakekat diri. Dalam tantra simbol bentuk lekuk wanita atau cakti, dan biasanya diwujudkan dalam bentuk bunga lotus atau lonceng/genta (lonceng merupakan simbol dari wanita dalam ‘tantra’), sedangkan pria diwujudkan dalam bentuk Vajra.

Konsep Tantra yang mengandung dualisme tersebut diperkirakan berpengaruh terhadap perwujudan estetika sosok arsitekturnya. Hal ini misalnya dapat dibandingkan bentuk stupa candi di Indonesia yang berbentuk seperti genta yang khas, berbeda dengan model stupa di India (Sanci), bentuk lengkung ogive yang khas dalam karakteristik bangunan candi, bentuk pengolahan lekuk sosok percandian pada masa abad 13 lebih ‘lentur’ seperti melambangkan gerakan tubuh dari gerakan yoga tantra ataupun genta sebagai simbol wanita dalam Tantra atau gambaran Vajra (alat upacara) sebagai simbol pria dalam tantra atupun Siwa atau Budha itu sendiri.

Nilai-nilai dualitas secara umum sebenarnya dapat difahami sebagai konsep-konsep yang mendasari dalam desain candi termasuk tradisi Jawa kemudian. Nilai-nilai dualitas ini dapat difahami sebagai sinkritisme yang menunjukkan adanya ‘dialog’ antar unsur di dalamnya, meskipun ada yang berlawanan namun dapat menyatu (melebur) dalam satu kesatuan yang tunggal, seperti halnya konsep Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa.



Gb 07. Baris I : pengaruh bentuk genta pada elemen candi, Baris 2: siluet lentur vajra dan lengkung ogive pada Borobudur, Baris 3 : lengkung ogive pada skyline Prambanan

3. Penutup

Candi dapat difahami dalam konteks sakala saja namun juga melibatkan unsur-unsur yang bersifat niskala, ruang tidak hanya diterjemahkan menyangkut aspek fisik ruang dalam candi tetapi harus dipandang sebagai satu kesatuan yang kompleks dengan ruang-ruang luar yang ada di sekitarnya. Candi – candi tersebut merupakan karya arsitektur yang dipengaruhi oleh seni bangunan kuil di India, namun pengaruh local genius dalam desain candi di Indonesia secara berangsur cenderung menguat dan menentukan. Desain arsitektur candi dalam perkembangannya merupakan hasil sinkritisme, baik antara aliran Hindu dan Budha, maupun kebudayaan India dan lokal. Arsitektur candi merupakan hasil kreatifitas nenek moyang bangsa Indonesia dalam menanggapi gaya-gaya bangunan, aliran-aliran keagamaan, trend-trend arsitektur yang masuk ke Nusantara pada saat itu. Suatu bentuk arsitektur yang akomodatif dan menjujung nilai-nilai ’toleransi’. Candi Prambanan dapat dipandang sebagai the first high rise building in Indonesia bahkan South East Asia, dan oleh beberapa literatur dipandang sebagai candi Hindu yang terindah di dunia. Jayawarman seorang pangeran dari Dinasti Mataram Kuno membawa pengaruh candi-candi Nusantara tersebut (seperti Prambanan, Borobudur, dsb) ke Kamboja dalam membangun percandian Angkor. Oleh karena itu candi di Nusantara dapat dipandang sebagai salah satu local historical prototype yang penting di Indonesia dan berpengaruh pada tingkat regional. Dengan demikian melalui pengkajian di atas diharapkan dapat memperkaya penjelajahan khasanah arsitektur Nusantara yang merujuk pada identitas lokal khususnya di era globalisasi masa kini. A connection with the past is a prerequisite for the appearance of a new and self confident tradition’ (Giedeon, 1956).

Daftar Bacaan

1. Acharya, Prasanna K, (1979), Hindu Architecture in India and A broad. New Delhi : Oriental Books Reprint Corporation.

2. Atmadi, Parmono (1994), Some Architectural Design Principles of Temples in Java, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

3. Ayatrohaedi, ed (1986), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta, Pustaka Jaya.

4. Bakker, J.W.M (1984), Filsafat Kebudayaan sebuah pengantar, Yogyakarta, Kanisius.

5. Cardoso S.L (1966), Seni India, Seri Monografi 1, Kursus B 1 Tertulis Sedjarah , Bukittinggi.

6. Ching, Francis D.K & Paulus Hanoto Aji (penerjemah) (1993), Arsitektur : Bentuk, Ruang, dan Susunannya, Jakarta, Penerbit Erlangga

7. Dumarcay, Jacques & Michael Smithies (translate) (1991), The Temples of Java, Singapore, Oxford University Press.

8. Fontein, Jan & Soekmono R., Edi Setyawati (1990), The Sculpture of Indonesia, Washington, USA, National Gallery of Art

9. Giedion, S. (1956), Space, Time and Architecture, Library of Congres Catalog, USA.

10. Groslier, Bernard Philippe (2002), Indocina : Persilangan Kebudayaan, Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

11. Kandahjaya, Hudaya (1995), Kunci Membaca Simbolisasi Borobudur, Bandung, Yayasan Penerbit Karaniya.

12. Kramrisch, Stella (1980), The Hindu Temple, Delhi, University of Calcutta

13. Kempers, A.J Bernet (1959), Ancient Indonesian Art, Amsterdam : C.P.J. Van der Pact

14. Kern, J.H.C. dan Rassers, W.H. (1982), Civa dan Buddha. Jakarta: Djambatan

15. Lombard, Denys (1996), Nusa Jawa : Silang Budaya 1, Jakarta, Pt Gramedia Pustaka Utama.

16. Mangunwijaya YB (1992), Wastu Citra Pengantar Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-Sendi Filsafatnya, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

17. Moercipto, Bambang Prasetyo, Indro Dewa Kusumo (1991), Mengenal Candi Siwa Prambanan dari dekat, Yogyakarta, Penerbit Kanisius

18. Mundardjito (1992), Pertimbangan Ekologis, Penempatan Situs Masa Hindu-Buda di Daerah Yogyakarta, Disertasi Doktor, Jakarta, Universitas Indonesia.

19. Norberg-Schulz, Christian (1978), Genius Loci Towards A Phenomenology Of Architecture, New York, Rizzoli International Publications, Inc.

20. Prajudi, Rahadhian, H, (1999), Kajian Tipo-Morfologi Arsitektur Candi di Jawa, Thesis, Arsitektur Institute Teknologi Bandung, Bandung

21. Prijotomo, Josef (1988), Pasang Surut Arsitektur Indonesia, Surabaya, Wastu Lanas Grafika.

22. Purwasito, Andrik (2002), Imajeri India : Studi Tanda dalam Wacana, Surakarta, Yayasan Pustaka Cakra

23. Rahardjo, Supratikno (2002), Peradaban Jawa : Dinamika pranata politik, agama, dan ekonomi jawa kuno, Jakarta, Komunitas Bambu

24. Roesmanto, Totok (2007), Pemanfaatan Potensi Lokal dalam Arsitektur Indonesia, Pidato pengukuhan Guru Besar Arsitektur, Semarang, Universitas Diponegoro

25. Soekmono R (1974), Candi, Fungsi dan Pengertiannya, Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, Jakarta.

26. Soekmono R (1991), Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid 2, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.

27. Santiko, Hariani (1995), Seni Bangunan Sakral Masa Hindu-Buda di Indonesia Analisis Arsitektur dan Makna Simbolik, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Tetap pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok

28. Smithies, K.W. (1981) Principles of Design in Architecture, New York, Van Nostrand Reinhold.

29. Snodgrass, Adrian (1985), The Symbolism of The Stupa, New York, SEAP.

30. Sudradjat, Iwan (1991), A Study of Indonesian Architectural History, Thesis for Doctor of Philosophy, Department of Architecture University of Sydney

31. Supomo, S. (1977), Arjunawiwaha, A kakawin of mpu tantular, vol 1 The Hague: Martinus Nijhoff

32. Tjahjono, Gunawan editor, Rahadhian P(1989) Sejarah Kebudayaan Indonesia – Arsitektur, Departemen Budaya dan Pariwisata.

33. Tjahjono, Gunawan, editor (1998), Indonesian Heritage - Architecture, Singapore, Editions Didier Millet

34. Tjahjono, Gunawan (1989) Cosmos, Center, and Duality in Javanese Architectural Tradition: The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kota Gede and Surroundings, Ph.D Dissertation, University of California at Berkeley.

35. Van de Ven, Cornelis (1991), Ruang dalam Arsitektur, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama

36. Volwahsen, Andreas (1969), Living Architecture : India, New York, Grosset & Dunlap

37. Woyowasito, S ( 1976), Sejarah Kebudayaan Indonesia I, Bandung, Penerbit Shinta Dharma.



Rahadhian PH-Dodo

Dosen Tetap di Jurusan Arsitektur UNPAR-Bandung, Mengajar mata kuliah Sejarah dan Teori Arsitektur Klasik-Modern-Kontemporer dan Studio Perancangan Arsitektur (SPA, SAA, SAA Awards), Anggota Laboratotium STEFA (Sejarah, Teori, dan Falsafah Arsitektur) Jurusan Arsitektur UNPAR, Anggota IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) no 6303, Ketua Bidang Pelestarian Arsitektur IAI-Jawa Barat 2005-2008, Wakil Ketua Bidang Sayembara dan Penghargaan IAI-Jawa Barat 2008 – sekarang, Anggota LSAI (Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia), Anggota Bandung Heritage, Pernah mendapat penghargaan Medali Emas sebagai Peneliti Muda Terbaik tingkat Nasional tahun 1999 bidang sosial-budaya (arsitektur) dari LIPI dan TVRI dengan judul penelitian Tipo-morfologi Arsitektur Candi di Jawa (penelitian dengan objek 80 buah candi). Aktif dalam seminar-seminar Nasional dan Internasional., khususnya yang berkaitan dengan sejarah aristektur.














Diskusi ke 8. Cahaya sebagai identitas Budaya dalam gubahan ruang bangunan religius